Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) punya pekerjaan rumah yang terbilang berkelanjutan. Perkumpulan ini harus menyiapkan banyak appraisal–sebutan untuk profesi penilai—karena kebutuhan dan permintaan masyarakat kian meningkat. Sayang, peningkatan permintaan itu tak dibarengi pendidikan dan pelatihan yang terstruktur. Selama ini lebih banyak mengandalkan pelatihan informal yang dilakukan swasta. Pemerintah dinilai belum melihat profesi ini sebagai peluang di masa mendatang.
Padahal, usaha jasa penilai sudah eksis puluhan tahun. Sejak 1970-an, jasa penilai banyak dimanfaatkan untuk kepentingan investasi yang kala itu mulai marak. Pelan tapi pasti, profesi ini berkembang. Pemerintah juga melihat pentingnya mengatur dan memberikan kepastian hukum kepada profesi penilai. Maka, lahirlah Keputusan Menteri Perdagangan No. 161/VI/77 yang mengatur izin usaha jasa penilai di Indonesia. Sesuai dengan kebutuhan, appraisal mengalami dinamika. Pada 2008 lalu Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan No. 125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik. Dalam beleid terakhir ini, usaha jasa penilai yang berbentuk perseroan terbatas diubah menjadi Kantor Jasa Penilai Publik. Appraisal lebih dianggap sebagai pemberi jasa.
Profesi penilai dibutuhkan antara lain oleh perusahaan-perusahaan yang hendak go public, atau oleh perusahaan dalam rangka perhitungan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan. Di kawasan perkotaan dimana industri properti begitu menggiurkan, jasa seorang appraisal sangat dibutuhkan. Lantaran pentingnya peran appraisal itu pula, Bapepam menerbitkan Peraturan No. VIII.C.4 tentang Pedoman Penilaian dan Penyajian Laporan Penilaian Properti di Pasar Modal. Appraisal khusus properti –disebut Penilai Properti—penting memahami kontrak penugasan.
Butuh pendidikan
Dengan kata lain, appraisal bukan hanya perlu memahami tugas-tugas teknisnya, tetapi juga perlu tahu aturan yang berlaku. Ia juga butuh pemahaman kontrak yang benar, sekaligus memahami teknis hukum bidang dimana ia memberikan jasa. Seyogianya, appraisal bisa mendapatkan hal itu melalui pendidikan dan pelatihan. Kebutuhan akan pendidikan tu juga dirasakan Hamid Yusuf. “Kami minta profesi penilai mendapat tempat di dunia pendidikan. Selama ini program sarjana untuk itu tidak ada,” ujar Ketua MAPPI itu kepada hukumonline.
Hamid beralasan, Indonesia membutuhkan lebih dari sepuluh ribu orang tenaga appraisal. Saat ini, kita hanya memiliki sekitar tiga ribu lima ratus orang. Itu pun yang aktif hanya sekitar dua ribu orang. Plus penilai yang diangkat Menteri Keuangan sekitar 1300 orang, dan penilai dari Ditjen Pajak sekitar 200-an orang. “Totalnya hanya segitu,” keluh Hamid.
Jumlah tadi, tegas Hamid, jelas tak mencukupi. Apalagi dengan kondisi alam Indonesia yang terbentang begitu luas. Faktanya, mayoritas appraisal berada di Pulau Jawa. Padahal aset negara yang perlu dinilai tersebar di luar Pulau Jawa, dan jumlahnya lebih besar. Kondisi ini juga cukup merisaukan MAPPI.
Sebab, tak ada yang bisa memastikan nilai kekayaan Indonesia. “Akibatnya, kita tidak tahu jika ada yang hilang. Kita juga tidak tahu potensi nilai ekonomis hutan kita dan berapa yang sudah berkurang”. Hamid mengajak kita untuk merenungkan rumusan Konstitusi bahwa tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung akan diberikan untuk kesejahteraan rakyat. “Tapi apa ukurannya, tidak ada yang tahu”.
Hamid berpendapat kurangnya tenaga appraisal antara lain karena tidak memiliki basis di perguruan tinggi. Ia berharap kalangan kampus bisa memberi tempat bagi profesi penilai sebagaimana layaknya profesi notaris dan akuntan. Kalau diberi tempat bisa jadi minat masyarakat pun akan tinggi.
Lantaran tak ada basis pendidikan formal, pendidikan calon appraisal diambil alih oleh MAPPI. MAPPI membuat sendiri sistim pendidikan, silabus, dan ujian sertifikasi. “Kami diberi amanah oleh Menkeu untuk sertifikasi ini,” ujarnya.
Daerah juga perlu
Tenaga apparisal bukan hanya dibutuhkan di Ibukota. Menurut Hamid, daerah pun seharusnya membutuhkan. Misalnya untuk perhitungan nilai pajak daerah yang akan masuk sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Cuma, faktanya, tak banyak daerah yang memiliki appraisal. Hanya sedikit penilai yang kompeten di daerah untuk menentukan Nilai Jual Objek Pajak.
Walhasil, sejumlah daerah menggunakan data yang tidak valid. Bayangkan, jika lebih dari 500 kabupaten/kota memiliki appraisal yang kompeten. Perhitungan Nilai Jual Objek Pajak di daerah bersangkutan bisa lebih optimal.
Melihat kebutuhan itu, Hamid kembali mengungkapkan harapannya tentang pembukaan program pendidikan strata satu yang diakui Pemerintah. Usulan itu bukan tidak pernah disampaikan. Tetapi Pemerintah berdalih ilmu apparisal sudah dipelajari dalam berbagai disiplin ilmu.
Direktur Akademik Direktorat Pendidikan Tinggu Kementerian Pendidikan Nasional, Ilah Sailah, menegaskan pelajaran penilaian sudah diberikan pada banyak program studi tingkat sarjana. “Sudah ada kok di banyak jurusan. Di program studi arsitektur, teknologi industri, dan beberapa yang lain, sudah diberikan kok,” tegas Ilah.
Untuk membuka jenjang pendidikan yang diinginkan MAPPI bukan perkara gampang. Harus dipenuhi sejumlah syarat. Pertama, kelayakan studi. Kedua, besarnya minat dan kepentingan bagi pengembangan keilmuan. Ketiga, satu program studi tidak boleh tumpang tindih dengan program lain. Ukurannya, jika suatu program memiliki 70 persen kesamaan kurikulum dengan program lain, maka pendirian tidak bisa dilakukan. Paling banyak kemiripan hanya 40 persen.
Syarat lain adakah ketersediaan tenaga pengajar bergelar magister. Lalu, program studi apparisal harus sudah memiliki buku ajar minimal 200 judul. Tentu saja, tak boleh dilupakan, syarat ketersediaan sarana dan prasarana pendukung seperti kelas, laboratorium, dan perpustakaan.