Jika di Kementerian Hukum dan HAM dikenal legal drafter atau tenaga suncang, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga punya legislative drafter. Malah di DPR tenaga bantuan bisa datang dari tenaga ahli komisi, staf ahli anggota DPR, dan tenaga peneliti pada P3I (Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi) DPR. Melihat beragamnya tenaga ahli yang bisa dimanfaatkan anggota Dewan, maka patut dipertanyakan mengapa kinerja legislasi DPR merosot.
UUD 1945 memberikan kekuasaan membentuk Undang-Undang kepada DPR. Dalam proses pembentukan Undang-Undang itu, DPR perlu membuat persetujuan bersama agar suatu Rancangan Undang-Undang bisa disahkan menjadi Undang-Undang. Pada saat masih menjadi rancangan atau berupa draft mentah itulah anggota DPR membutuhkan keahlian tenaga penyusun perundang-undangan. Sebab, tak semua anggota Dewan punya keahlian teknis membentuk Undang-Undang. Bukan hanya tak punya keahlian dari sisi formalitas, tetapi adakalanya juga tak memahami substansi.
Penggodokan suatu RUU pada dasarnya dilakukan di salah satu alat kelengkapan DPR, disebut Badan Legislasi (Baleg). Sesuai Undang-Undang No. 27 Tahun 2009, badan ini dibentuk untuk menjalankan fungsi legislasi. Dari sini, naskah RUU didistribusikan ke Panja atau Pansus yang mendapat amanat untuk membahasnya. Dalam proses pembahasan, DPR duduk bersama dengan wakil Pemerintah. Di sini tampak hubungan yang tidak seimbang. Wakil Pemerintah biasanya didampingi puluhan staf, termasuk orang biro hukum. Sebaliknya, anggota DPR hanya diback-up seorang tenaga ahli. Itu pun belum tentu ikut mendampingi anggota Dewan. Akibatnya, dalam proses pembahasan RUU, anggota DPR sering tak bisa menggali lebih mendalam isu tertentu. Anggota DPR hanya manggut mendengar penjelasan Pemerintah.
Dalam peluncuran bukunya ‘Pergeseran Fungsi Legislasi’, Prof. Saldi Isra menyinggung pentingnya mengoptimalkan fungsi legislasi DPR, termasuk mendorong kehadiran tenaga ahli perundang-undangan yang berkualitas. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas menilai fungsi DPR tak maksimal. Karena itu, ia meminta dilakukan purifikasi legislasi. Minimnya tenaga ahli berpengaruh pada output perundang-undangan, bukan hanya pada jumlah tetapi juga pada kualitas.
Sebenarnya sejak 2008 silam, setiap anggota DPR sudah mendapatkan seorang tenaga ahli. Namun jumlah ini dirasakan masih kurang. Sebab, satu Komisi DPR membidangi beberapa mitra kerja. Komisi III bermitra dengan Polri, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Komisi Yudisial dan PPATK. Atau, Komisi II bukan hanya mengurusi pemilu, tetapi juga pertanahan dan administrasi negara. Dengan hitung-hitungan ini, seorang anggota DPR mengatakan butuh 3-6 tenaga ahli. Bandingkan dengan anggota Senat di Amerika Serikat yang dibantu puluhan staf.
Ketua Baleg, Ignatius Mulyono, mengakui pentingnya kehadiran tenaga ahli perundang-undangan. DPR akan terus mendorong peninkatan kualitas fungsi legislasi dengan menambah legislative drafter. Bahkan untuk tenaga ahli perundang-undangan, kata Mulyono, dipersyaratkan harus bergelar S2. “Terkait satu disiplin ilmu yang betul-betul dibutuhkan untuk kepentingan penyusunan rancangan UU. Memiliki pengalaman dari kinerjanya. Dedikasi penugasannya di DPR. Mempunyai kemampuan untuk menyampaikan paparan, pendapat, dan mampu membuat tulisan,” jelasnya.
Mulyono mengakui proses penyusunan inisiatif DPR banyak dibantu tenaga ahli. Baleg sendiri mengenal tiga jenis bantuan perancangan, yakni dari tenaga ahli, tenaga P3DI, dan legal drafter. Baleg memiliki 20 tenaga ahli, 7 orang legal drafter, dan 12 orang peneliti perundang-undangan. Meskipun nama panggilannya berbeda-beda, tugasnya nyaris sama. “Mereka semua mempersiapkan rumusan dari RDP-RDPU yang kita lakukan dengan para ahli maupun perguruan tinggi atau dengan kunjungan pejabat daerah, untuk nanti dirumuskan menjadi bahan penyusun naskah akademis, bahan untuk menyusun substansi undang-undang,” ujarnya.
Ditambahkan Mulyono, tidak hanya sekedar membantu para anggota dewan dalam menyusun sebuah UU saja, seorang tenaga ahli juga mengemban tugas untuk meneliti sebuah UU yang akan dibuat dan sekaligus menilai layak atau tidaknya UU tersebut untuk dibuat. “Kalau dari P3DI, mempelajari apakah UU ini sebetulnya bertentangan dengan UU yang lain apa belum. Atau ada UU pendukung dari rancangan UU yang kita susun. P3DI juga menentukan UU ini dibutuhkan atau tidak”.
P3DI pada dasarnya bertugas meneliti dan menentukan sebuah UU sudah layak atau belum, setelah sebelumnya, naskah akademis sebuah UU tersebut disusun dan dibuat sesuai dengan tata aturan yang benar oleh seorang legal drafter. “ Legal drafter, iya akan mempelajari struktur dari penyusunan UU itu sudah benar apa belum,” ungkapnya.
Setelah kedua tahap tersebut rampung, materinya disusun untuk disiapkan menjadi sebuah RUU untuk diajukan dan disahkan menjadi sebuah UU. Pekerjaan terakhir ini pun dilakukan oleh tenaga ahli. Tenaga ahli atau staf ahli bukan hanya ada di Baleg, tetapi juga dimiliki masing-masing anggota Dewan. Toh, tak semua memanfaatkan tenaga ahli sepenuhnya. Anggota Komisi I dari Fraksi PKB, Effendy Choirie, misalnya, mengaku tak mengoptimalkan tenaga ahli yang diberikan Setjen DPR. Ia beralasan partai juga sudah menyediakan staf yang bisa membantu. “Kami di-supply dari partai,” ujarnya.
Perpindahan seorang anggota Dewan dari suatu komisi ke komisi lain turut membuat tenaga ahli kurang maksimal. Misalnya, staf yang diberikan ke Gus Choi –begitu ia biasa disapa—tak terlalu memahami masalah pertahanan dan keamanan. Akibatnya, tenaga ahli yang disediakan tidak bisa bekerja maksimal.
Pengembangan
Untuk soal komposisi jumlah tenaga ahli di DPR, berkaca pada apa yang telah ada saat ini, menurut Ignatius Mulyono masih perlu dikembangkan. Bukan hanya dari segi jumlah saja, pengembangan juga perlu dilakukan dari segi lembaga dalam alat kelengkapan DPR saat ini. Pengembangan yang dimaksud Ignatius dalah hadirnya dua badan baru yaitu, Badan Pusat Legislasi dan Badan Perancang UU.
Kedua badan tersebut akan memberdayakan para staff ahli dan juga anggota dewan yang ada, untuk lebih fokus dan baik lagi dalam membuat sebuah UU. Badan Pusat Legislasi misalnya, menurut Ignatius, badan ini akan menjadi pusat riset dan penelitian untuk perbandingan dan acuan dalam membuat sebuah UU yang baru. “Nanti akan mempelajari dan mengikuti perkembangan legislasi, mulai dari tahun 1945 sampai sekarang. Akan dicoba diinventarisir, dia juga akan menilai, adanya UU yang harus dipertahankan atau tidak. Dia juga yang akan memprediksi tentang kepentingan pembuatan UU sampai tahun 2025”.
Mulyono berharap dengan kehadiran Badan Perancang, pembuatan grand design suatu UU baru bisa lebih baik dan rapih lagi dari sebelumnya. “Badan inilah yang akan mendesign draft naskah akademis dari RUU ini dengan mengkoordinir kinerja dari P3DI, kemudian legal drafter dan tenaga ahli dan para pakar terkait”.